Tuesday, December 8, 2009

Fenomena Buku Di Indonesia


1. Buku sebagai gaya hidup..
Budaya literasi yang semakin massif saat ini membuat minat baca masyarakat berkembang pesat. Buku-buku meluncur deras seperti HP merek NOKIA dan penulis baru bermunculan bak cendawan di musim hujan. Ini adalah kabar gembira yang tetapi sebenarnya belum tentu juga (bingung kan?"...sama). Di Indonesia ini ga gaul kalau kita ga ikut-ikutan, ternyata ini juga merembet ke dunia perbukuan kita. Buku kini telah menjadi gaya hidup. Ketika ramai-ramainya novel Ayat-Ayat Cinta, orang-orang ramai membeli novel tersebut hingga naik cetak lebih dari 12 kali. Pun hal yang sama pada Tetralogi Laskar Pelangi dan Harry Potter. Rumusnya membeli belum tentu membaca. Banyak diantaranya membeli hanya agar ga dibilang "ga gaul" dan agar agak nyambung (plus tidak malu) kalau ada diskusi-diskusi kecil tentang buku tertentu. Biasanya mereka membeli buku, dibaca dafar isi, baca halaman-halaman awal lalu bosan dan ditaruh di rak buku (yang biasanya di ruang tamu). Paling parah ada yang membeli buku lalu dibawa kemana-mana, merasa telah berinteraksi denga buku itu lalu merasa telah membacanya. Hah
2. (Semoga) Best Seller bukan (Sudah) Best Seller
Logo best seller pada buku-buku di pasaran saat ini sedikit sekali yang bisa kita percaya. Best Seller telah berubah dari akibat menjadi sebab. Jadi kira-kira tulisan best seller saat ini adalah bermakna "(insyaAllah akan) best seller" atau "(mudah-mudahan) best seller" bukan "(buku ini sudah) best seller". Ini adalah penipuan yang nyata, tapi susah juga karena kita tak punya alasan atau pasal untuk menjeratnya. Saya tak tahu pasti best seller itu kriterianya seperti apa. Saya punya gagasan best seller haruslah semacam logo resmi yang dikeluarkan satu lembaga saja semisal logo halal dari MUI. Dengan begitu bisa dipatikan best seller kembali menjadi akibat dan bukan lagi sebab. Anda setuju?
3. Buku Bajakan
Dimana ada gula memang akan ada semut (makanya taruh yang bener he). Begitu pula dunia perbukuan kita. Ramainya dunia buku dan kepenulisan mengundang kaum oportunis untuk turut mengambil untung. Yang sudah lama terjadi adalah "pembajakan". Dari sisi konsumen pembajakan ini memang jadi alternatif untuk mendapatkan buku dengan harga sampai sepertiga harga aslinya. Tapi dari sisi penulis, pembajakan adalah praktek yang menggetirkan. Saya punya pandangan berbeda. Saya punya hitungan begini, misalkan buku asli harganya Rp.70.000 dan bajakannya berharga Rp.25.000 maka saya tidak mempermasalahkan untuk membeli bajakannya saja. Menurut saya suatu barang yang dijual memiliki nilai intrinsik yang bisa kita jadikan berapa sepantasnya kita menjual dan mengambil untung. Pembajak bisa memperoleh untung hanya dengan menjual Rp.25.000 berarti nilai intrinsik buku itu mungkin sekitar Rp.20.000. Seperti kita ketahui pembajak itu hanya tidak membayar royalti dan pajak serta sering dengan kertas dibawah kualitas buku asli. Ongkos selain itu sama dengan buku asli. Artinya apa? artinya bila kita pakai contoh tadi buku asli punya selisih Rp. 45.000 dengan buku bajakannya. Jika diitung pajak 15% (Rp. 10.500) plus membayar royalti kepada penulis 10% (Rp.7.000) maka penerbit mereguk untung Rp.27.500. Banyak sekali bukan?
Saya berpendapat bahwa cara yang sangat mungkin dilakukan untuk menekan pembajakan adalah dengan menekan pajak dan keuntungan penerbit. Jika sebuah buku harga asli dan bajakannya berselisih tidak banyak saya berasumsi orang akan cendrung membeli yang asli. Namun demikian perlu penelitian ilmiah untuk mngetahui pada titik selisih maksimum berapa orang akan memilih buku asli daripada bajakannya. Saya tidak tahu apakah penerbit punya perhitungan lain, tapi soal hitungan persen yang saya gunakan diatas insyaAllah valid.
4. Buku Tandingan
Fenomena ini bukan hanya ada di Indonesia. Mungkin di seluruh dunia juga begitu. Begitu muncul buku yang fenomenal ada saja orang yang membuat buku tandingannya. Tentu saja dia berharap dapat memperoleh keuntungan yang sepadan.
5. Buku Plesetan 
Ini mirip poin 4 diatas. Hanya bedanya ini bukan tandingan melainkan plesetan. Karena plesetan kontennyapun biasanya juga lucu. Contoh buku plesetan adalah Ayat Amat Cinta dan Da Peci Code. Dua-duanya lucu banget.
6. Buku vs E-Book
Saya tidak tahu siapa yang sempat-sempatnya membikin buku jadi e-book yang kemudian bisa kita unduh gratis. Saya pernah menemukan dan membaca e-book Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi dan Catatan Hati Seorang Istri. Tapi pusing, enak baca buku aslinya. 
7. Pinjam Buku dan Ga Kembali
Ini yang paling banyak terjadi dan lebih penting dari semua pembahasan diatas (Nah lo). Iya pinjam meminjam buku memang rawan tidak kembali. Sebaiknya anda membuat pencatatan yang rapi soal ini. Dan pastikan untuk berpesan kepada peminjam agar tidak pindah tangan sebelum kembali ke kita. Saya sendiri memiliki buku yang tidak tahu sekarang jalan-jalan dimana. Yang paling sayang adalah Ayat-Ayat Cinta dan KCB karena selain ada tanda tangan asli (dengan bollpoin asli penulisnya) juga terdapat foto saya dengan pengarangnya. Yang pinjam kalau baca ini please donk kembalikan!! He..

Akhir kata JANGAN MENUNGGU MASUK PENJARA UNTUK MENJADI PENULIS DAN JANGAN MENUNGGU MASUK RUMAH SAKIT UNTUK MENJADI PEMBACA

SELAMAT BERKARYA
 

No comments:

Post a Comment